Sembari kupandangi kelabunya langit kudengar samar titik air yang menetes dari genting -- sisa hujan beberapa menit lalu. Rasanya sudah lama sekali tidak melakukan ini, suatu kebiasaan yang kulakukan sejak mengenalmu. Tiba-tiba aku disergap perasaan rindu yang teramat sangat. Seperti bisa kulukis wajahmu pada embun yang menempel di jendela dengan jari telunjuk sambil menutup mata.
Kau memang tidak pernah mengatakannya. Tapi aku tau, bagimu hujan selalu spesial.
Oleh karena itu bagiku hujan juga spesial. Dulu hujan mengingatkanku akan hal-hal yang suka kau lakukan ketika hujan. Tapi hujan kali ini banyak membuatku bertanya-tanya, disana, dimana pun kau berada, apakah hujan juga turun? Atau mungkin hujan telah turun berhari-hari dan membuatmu sakit? Atau bahkan hujan tidak turun sama sekali dan kau malah sedang menghabiskan waktu dengan gadis bermata indah yang diam-diam kau sukai itu? Duhai, lama sekali tak mendengar kabar darimu.
Memandangi hujan membuatku tenang. Aku iri pada kesederhanaannya. Lihatlah, orang-orang berlarian mencari tempat berteduh ketika hujan datang. Pengendara motor meng-gas motornya lebih kencang, sebagian menepikan motornya setelah menemukan tempat berteduh. Rumit sekali urusan ini bagi mereka. Terlambat sampai ke tempat tujuan, pakaian basah dan berantakan. Tidakkah mereka mengerti? Urusan hujan ini amatlah sederhana.
Dalam banyak hal, mungkin aku sama saja dengan mereka. Tapi urusan mencintaimu, aku ingin seperti hujan. Hujan tetap turun, tak peduli kau ingin atau tidak. Tak peduli kau dimana dan sedang apa. Tak peduli kau mensyukurinya atau membencinya. Ya, aku mencintaimu sesederhana itu.
Ah, hujannya turun lagi.
Puisi ini (kalau memang bisa dibilang puisi) kutulis pada musim hujan Februari 2016. Kali ini, kota yang berbeda, bulan yang berbeda, tahun yang sama, musim hujan yang sama. Dan perasaanku masih sama.
Kau memang tidak pernah mengatakannya. Tapi aku tau, bagimu hujan selalu spesial.
Oleh karena itu bagiku hujan juga spesial. Dulu hujan mengingatkanku akan hal-hal yang suka kau lakukan ketika hujan. Tapi hujan kali ini banyak membuatku bertanya-tanya, disana, dimana pun kau berada, apakah hujan juga turun? Atau mungkin hujan telah turun berhari-hari dan membuatmu sakit? Atau bahkan hujan tidak turun sama sekali dan kau malah sedang menghabiskan waktu dengan gadis bermata indah yang diam-diam kau sukai itu? Duhai, lama sekali tak mendengar kabar darimu.
Memandangi hujan membuatku tenang. Aku iri pada kesederhanaannya. Lihatlah, orang-orang berlarian mencari tempat berteduh ketika hujan datang. Pengendara motor meng-gas motornya lebih kencang, sebagian menepikan motornya setelah menemukan tempat berteduh. Rumit sekali urusan ini bagi mereka. Terlambat sampai ke tempat tujuan, pakaian basah dan berantakan. Tidakkah mereka mengerti? Urusan hujan ini amatlah sederhana.
Dalam banyak hal, mungkin aku sama saja dengan mereka. Tapi urusan mencintaimu, aku ingin seperti hujan. Hujan tetap turun, tak peduli kau ingin atau tidak. Tak peduli kau dimana dan sedang apa. Tak peduli kau mensyukurinya atau membencinya. Ya, aku mencintaimu sesederhana itu.
Ah, hujannya turun lagi.
Puisi ini (kalau memang bisa dibilang puisi) kutulis pada musim hujan Februari 2016. Kali ini, kota yang berbeda, bulan yang berbeda, tahun yang sama, musim hujan yang sama. Dan perasaanku masih sama.
No comments:
Post a Comment